Rabu, 07 Agustus 2013

Problematik Pembelajaran Geometri di Sekolah

Problematik Pembelajaran Geometri di Sekolah


Disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika tentang Pemantapan Konsep dan Pemecahan Masalah Pembelajaran Geometri pada Pendidikan Dasar).

Oleh Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya.


Geometri merupakan bagian Matematika yang membicarakan titik, garis, bidang, ruang dan keterkaitan satu sama lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh Stein (1980) berikut ini:Geometry is the study of points, lines, planes, and space, of measurement and construction of geometric figures, and of geometric facts and relationships. The word “geometry” means “earth measure.” (Stein, 1980: 392).

Menurut Stein, objek Geometri bersifat abstrak. Hal ini tampak jelas pada pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan misalnya penjelasannya tentang “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or thickness. We cannot see a geometric line.” Akibatnya, pengajaran Geometri di sekolah memerlukan kompetensi dan semangat guru yang memadai.

Siswa Belajar dengan Ilusi
Seperti diketahui bersama, permasalahan pembelajaran pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor. Untuk pengajaran Matematika pada Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedikitnya ada empat faktor penyebab kesulitan. Pertama, krusialitas muatan kurikulum (stndar isi). Dalam konteks ini banyak materi Matematika di SMP memiliki tingkat kesulitan relatif tinggi, yang melebihi tingkat intelektual siswa rata-rata (sebagai contoh stnadar isi tentang “Kesebangunan Segitiga”, “Eksponen”, “Lingkaran”, dan “Barisan dan Deret”). Kedua, ketidaksiapan siswa secara individu, terutama dalam memahami konsep-konsep yang pelik dan menghafalkan (mengingat) rumus-rumus yang demikian banyak. Sejak SD, siswa telah memperoleh banyak rumus, setelah di SMP mereka kembali menerima berbagai macam rumus, yang jumlahnya tidak sedikit. Akhirnya, untuk mengingat rumus yang demikian banyak itu, merupakan beban tersendiri bagi siswa. Apalagi kalau guru hanya menyodorkan rumus “siap pakai” kepada siswa, maka siswa tidak pernah tahu cara menurunkan rumus tersebut. Akhirnya generasi penerus bangsa ini hanya bersifat menghafal. Ketiga, keterbatasan fasilitas; sampai saat ini sebagian besar sekolah masih terkendala pada alat bantu pembelajaran, seperti: alat peraga, dan media pendukung lainnya. Seperti diketahui bersama, belakangan ini pemerintah nyaris tidak lagi memasok alat peraga matematika ke sekolah. Kalau guru pasif dan hanya bersifat menunggu, maka dapat dipastikan sekolah tidak memiliki alat-alat pendukung pembelajaran matematika.  Keempat, kesulitan yang bersumber dari guru; antara lain: (1) kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan metode penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, (2) tidak berupayanya guru dalam menciptakan pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), (3) kecenderungan guru untuk mengambil jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa, (4) dan kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal-soal berbentuk ‘problem solving’ dan soal bersifat open-ended. Dalam kesempatan ini, pembahasan akan difokuskan pada permasalahan yang bersumber dari guru dan ketidaksiapan siswa dalam belajar Geometri, sebab kendala tentang kurikulum dan fasilitas memerlukan “sentuhan” pemerintah atau pihak-pihak lain yang berkompeten dalam pengambilan kebijakan dalam bidang pendidikan.

Khusus dalam pengajaran bidang Geometri, beradasarkan pengalaman langsung di lapangan, yang tampak paling dominan sebagai penyebab kesulitan adalah keterbatasan alat pendukung pembelajaran. Dengan kata lain, permasalahan pengajaran Geometri muncul ketika banyak guru tidak sempat atau memandang tidak perlu, serta tanpa usaha untuk melakukan visualisasi objek-objek Geometri yang abstrak itu. Bahkan, sangat dikhawatirkan jika kelompok guru yang telah menyadari betul pentingnya alat peraga juga melakukan “pelanggaran” dalam tugasnya sehari-hari. Artinya, mereka ”terseret” untuk ikut-ikutan ke kelas tanpa alat bantu pembelajaran. Tidak jarang juga sebagian pahlawan pendidikan ini bersikap ”cuek” dan pasrah terhadap kondisi sekolah. Mereka cenderung menunggu bantuan alat dari pemerintah atau pihak-pihak lainnya, tanpa berupaya membuat alat sendiri. Apalagi tidak pernah terpikir olehnya untuk menugasi siswa membuat model yang dapat mempermudah mereka memahami konsep-konsep Geometri.

Sejalan dengan sikap ”tunggu bola” dan kepasrahan itu, akhirnya dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru lebih dominan memilih bentuk verbalitas (talk only). Sebagai contoh dalam pembahasan bangun ”kerucut”, guru bukan menunjukkan model kerucut, namun hanya berwacana tentang bangun runcing itu. Contoh lain, ada oknum guru hanya bercerita tentang diagonal ruang dan bidang diagonal dalam pembahasan tentang kubus atau balok, serta tidak pernah memperlihatkan benda-benda nyata yang dapat dijadikan model.

Akibat dari pembelajaran yang hanya bersifat verbalitas itu, siswa selanjutnya menjadi pengkhayal yang ”ulung”. Mereka memaksa dirinya untuk ber-”mimpi” dan membayangkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah mereka ketahui. Jika siswa setiap hari diajak berhalusinasi dan lama kelamaan mereka menjelma menjadi ilusionis. Tentunya dalam konteks yang berbeda dengan pesulap legendaris Dedy Corbuzer maupun ilusionis atraktif seperti Demian, yang dalam kiprahnya menghasilkan banyak uang. Kalau pembelajaran di sekolah terus berwujud ”dunia khayalan”, dapat dibayangkan betapa banyaknya ilusionis tanpa penonton yang akan memenuhi negeri ini, sementara tugas besar pembangunan yang menghadang di depan mata tidak tergarap. Keadaan ini dapat dikatakan fase ”Full illusion and no action”, yang ditakuti setiap negara.

Pentingnya Aksi dalam Pembelajaran
Seperti disinggung sebelumnya, permasalahan yang menyangkut pembelajaran Geometri, yang dapat ditanggulangi guru adalah kendala yang bersumber dari guru itu sendiri: mulai dari kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan cara-cara penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, tidak berupayanya guru dalam menciptakan model pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), kecenderungan guru memilih jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa tanpa dibarengi sajian cara penurunan rumus itu, sampai pada kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal model ‘problem solving’ serta soal-soal open-ended.

Bertolak dari permasalahan itu, dalam konteks ini diharapkan guru mau untuk mengubah budaya “ngekoh”, dan siap melakukan inovasi pembelajaran. Guru hendaknya mulai beralih dari model pembelajaran konvensional (yang didominasi ceramah) menuju Model Pembelajaran Berdasar Aktivitas (MPBA). Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah mengajak siswa melakukan aksi (action) langsung dalam pembelajaran sehari-hari. Untuk menemukan konsep-konsep serta memperoleh rumus yang terkandung di dalamnya. Siswa hendaknya memulai belajar tentang konsep Geometri dengan melakukan kerja praktik yang melibatkan secara maksimal panca indranya..  Hal ini senada dengan pendapat Meier yang disitir Astuti (2002), sebagai berikut: “Dalam belajar, siswa perlu melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak hanya menggunakan “otak” (sadar, rasional, memakai “otak kiri”, verbal), tetapi juga melibatkan seluruh tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra dan sarafnya.” (Astuti (2002: 54).

Lebih jauh Meier menegaskan bahwa belajar adalah berkreasi, bukan mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pembelajar. Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi elektrokimia baru di dalam sistem otak/tubuh secara menyeluruh.

Aneka “Aksi” yang Dapat Diangkat
Aksi (action) apa yang dapat dijadikan acuan dalam pembelajaran Geometri? Sedikitnya dapat dibedakan menjadi tiga macam kegiatan nyata yang mesti dilakukan siswa. Pertama, membuat seketsa atau gambar-gambar untuk memudahkan proses berpikir tentang konsep. Kedua, kegiatan memanipulasi objek atau praktik untuk menyusun rumus atau membuktikan rumus yang telah ada. Ketiga, membuat suatu produk atau benda dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari.

1. Membuat sketsa atau gambar
Banyak pemikir menggunakan perumpamaan dan bahasa gambar (kecerdasan spasial) untuk membantu proses kerja mereka. Ahli fisika John Howarth (dalam Murtanto, 2002)  menggambarkan proses pemecahan masalahnya sebagai berikut:

Saya membuat gambar yang abstrak. Saya baru menyadari bahwa proses abstraksi gambar di benak saya menyerupai proses abstraksi saat saya menghadapi soal-soal fisika secara analitik. Jumlah variabel direduksi, lalu apa yang diperkirakan sebagai bagian esensial masalah tersebut disederhanakan dan dibahas, baru kemudian teknik analitis dapat diterapkan, ketika membuat gambaran visual, kita dapat memilih salah satu yang mengandung representasi unsur-unsur dasar – gambar yang disederhanakan, diabstraksi dari sejumlah gambar lain, dan berisi unsur-unsur yang sama (Murtanto, 2002: 225).

Menurut Murtanto, pemikir lain juga menggunakan strategi pemecahan masalah dengan menggabungkan imaji spasial-visual dengan aspek kinetik atau kinestetis-jasmani pikiran. Einstein pun megatakan bahwa proses berpikirnya meliputi unsur visual. Hal yang sama juga berlaku pada Henri Poincare , yang mengisahkan pengalamannya berjuang memecahkan persoalan matematika yang membingungkan selama lima belas hari, juga berakhir dengan gambar (Murtanto, 2002: 225).

Dari beberapa pendapat itu jelas bahwa begitu pentingnya peran gambar dalam belajar. Dengan demikian kegiatan melibatkan siswa dalam kreativitas pembuatan sketsa atau gambar dalam rangka memvisualisasikan dan menyederhanakan konsep-konsep pelajaran yang abstrak sangatlah penting.

Walaupun konsep-konsep yang diacu Geometri bersifat abstrak, namun, unsur-unsur penting Geometri pada umumnya dapat divisualisasikan dengan gambar atau diperagakan dengan model tiga dimensi. Jika mau jujur, objek yang paling abstrak sekalipun, seperti halnya ”keinginan”, ”kemajuan”, dan sebagainya masih dapat digambarkan, minimal sesuai dengan bayangan dan imajinasi masing-masing. Itu artinya, kalau guru mau berusaha untuk memvisualisasikan objek bahasan dari Geometri, sangat memungkinkan untuk divisualisasikan. Hanya saja gambar yang dibuat hendaknya jangan sampai menyesatkan, seperti pesan Iswadji, dkk. Berikut ini:

Gambar dari suatu bangun Geometri haruslah dapat membantu memberikan penjelasan dalam rangka usaha menanamkan pengertian tentang bangun itu. Misalnya jika Anda membuat gambar sebuah balok haruslah sejauh mungkin diusahakan agar gambar yang Anda buat itu dapat membantu memahami pengertian dan sifat balok yang dimaksudkan (Iswadji, 1995/1996: 6).

2. Kegiatan manipulasi objek
Tentang objek Geometri yang bersifat abstrak, tidaklah perlu menjadi alasan akan susahnya mencari padanan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran “garis” misalnya, selain bisa digambarkan juga dapat dimodelkan. Gambar garis hanyalah sebagai representasi dari garis yang bersifat abstrak itu. Perhatikan penegasan Stein berikut: “A geometric line is a set of points. The pencil or chalk lines we draw are only representations of geometric lines.”

Lebih jauh dari itu, dengan sedikit usaha tidak mustahil guru dapat menemukan aplikasinya atau relevansinya ke dalam kehidupan nyata. Model “garis” misalnya dapat dicontohkan tongkat, tiang rumah, benang yang dibentangkan, dan sebagainya. Bahkan, Iswadji, dkk. (1995/1996) mewajibkan guru untuk mencari padanan bangun-bangun Geometri ke dalam benda konkret, seperti yang diungkapkan berikut ini:

Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek itu, khususnya pada proses kegiatan belajar-mengajar dalam kelas, objek yang abstrak itu, misalnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk konkret dapat diamati sehingga lebih mudah dipahami. Bentuk konkret dari suatu benda pikiran dapat berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan tentang kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin juga perlu disiapkan keduanya (Iswadji, dkk., 1995/1996: 6).

Untuk suatu pembuktian tentang kebenaran rumus atau penyusunan rumus baru, dengan bantuan benda-benda konkret yang relevan akan mempercepat pemahaman siswa dan menuntun mereka dalam proses pemahaman konsep itu sendiri. Sebagai contoh dalam membuktikan bahwa volum kerucut adalah sepertiga dari volum tabung yang jari-jari alas dan tinggi kedua bangun itu sama, maka siswa perlu dilibatkan dalam kerja praktik menuangkan pasir dari kerucut ke dalam tabung secara berulang-ulang.

3. Membuat produk (karya nyata)
Kegiatan membuat hasil karya atau produk merupakan tingkatan tertinggi dalam proses belajar. Mengapa? Dengan kemampuan menciptakan atau menghasilkan suatu karya nyata berarti siswa telah memahami dengan baik konsep-konsep yang terkandung di dalamnya. Memang muara dari kegiatan belajar tentunya menghasilkan sesuatu yang berguna bagi diri sendiri dan masyarakat luas. Dengan kemampuan menciptakan suatu karya tertentu, siswa diharapkan akan mampu mengembangkan kemampuannya itu untuk mengarungi kehidupan ini, yang mana ke depan semakin kompetitif.

Ambil contoh, siswa yang baru saja belajar jaring-jaring kubus dan balok kemudian memiliki gagasan untuk menciptakan suatu karya ”kemasan produk” yang bentuknya unik, menarik, dan hemat bahan, maka yang bersangkutan dapat dikatakan telah menghasilkan suatu produk hasil ciptaannya sendiri. Hal ini tentu saja akan membanggakan baik bagi guru, sekolah maupun orang tua siswa. Apalagi misalnya hasil ciptaan anak bersangkutan sampai menang dalam lomba karya ilmiah dan memiliki hak paten, tentu saja akan mengangkat citra dan martabat daerah dan bangsa. Dengan alasan itu, maka guru diharapkan senantiasa melibatkan siswa dalam penciptaan produk yang relevan dengan konsep yang sedang dibahas serta sesuai dengan kemampuan dan tingkat intelektual siswa. Bukankah menurut Wiles (1955), guru yang hebat adalah guru yang memberi inspirasi kepada anak didik untuk menghasilkan sesuatu (tentunya yang berguna).

Bertolak dari berbagai pendapat tersebut, guru Matematika, terutama guru di tingkat Pendidikan Dasar dituntut untuk mampu memvisualisasikan objek bahasan yang bersifat abstrak dan selalu mengusahakan alat bantu pembelajaran, terutama yang berhubungan dengan alat peraga atau alat praktik yang mampu memudahkan dan mempercepat pemahaman siswa. Selain itu, dengan mengajak siswa untuk menghasilkan suatu produk yang didasari konsep-konsep yang sedang dipelajari akan menjadikan pelajaran lebih bermakna.

Kekurangsiapan sebagian guru dalam menyiapkan alat peraga dan mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, yang berakibat siswa menjadi asing dengan kebermanfaatan pelajaran Geometri, harus segera diantisipasi dengan model pembelajaran yang mampu mengoptimalkan keterlibatan panca indra siswa.
Jika tidak sejak dini dibiasakan siswa mengaplikasikan teori pelajaran yang diterimanya di kelas ke dalam kehidupan nyata, maka kelak mereka tidak dapat mengaitkan konsep-konsep pelajaran itu untuk memecahkan permasalahan nyata yang ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari. Kalau diibaratkan, siswa seperti itu bagaikan Gatotkaca yang dapat terbang melangit namun tidak mampu menapak bumi. Dengan kata lain, guru perlu mengajak siswa melakukan “aksi” dalam kegiatan belajar mengajar untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep pelajaran, menemukan keterkaitan materi dengan masalah nyata, serta menguatkan daya ingat siswa terhadap rumus-rumus yang ditemukan lewat kegiatan nyata (aksi) tersebut. Hal ini diharapkan dapat mengurangi frekuensi khayalan (ilusi) yang telah melanda sebagian siswa, sebagai akibat kurangnya pengetahuan mereka terhadap keterkaitan materi pelajaran dengan objek nyata.
Jika digambarkan, antara “aksi” dan “ilusi” itu dapat dipandang sebagai dua kutub yang bertolak belakang. Tetapi, jika cara visualisasi atau pemodelannya salah, maka kedua kutub tersebut bertemu membentuk ruang gelap yang mencerminkan terjadinya “kegamangan konsep” dalam pikiran siswa. Untuk itu, perlu kehati-hatian guru dalam memilih padanan objek agar tidak berbalik menyesatkan siswa. Gambar berikut menunjukkan terjadinya “kegamangan konsep” akibat adanya aksi yang tidak pas.

Gb. 1: Aksi yang belum pas menimbulkan ”kegamangan”
Jika guru menampilkan gambar/sketsa, maka gambar tersebut harus memenuhi syarat dari segi kesesuaian bentuk dan perbandingan ukuran.  Seperti yang telah disebutkan, ”aksi” yang sesuai akan mengurangi terjadinya ”ilusi”. Sejauh mana kontribusi ”aksi” untuk mengurangi ”ilusi” siswa, dapat digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut:



Solusi yang ditawarkan dalam kesempatan ini diharapkan sekaligus juga dapat menjawab atau paling tidak meringankan jenis kesulitan siswa yang termasuk kesulitan akibat kondisi awal atau ketidaksiapan siswa secara individu; diantaranya: kesulitan dalam menghubungkan antara gambar bangun dengan rumusnya,  kecenderungan siswa untuk sekedar menghafal rumus dan bukan memahami cara penurunannya, kesulitan dalam mengkonversi bangun dari bentuk satu ke bentuk lain, serta kesulitan dalam mengubah variabel pokok dari suatu formula.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Rahmani (Penerjemah). 2002. The Accelerated Learning (Dave Meier).
Bandung: Mizan Media Utama.
Iswadji, Djoko, dkk. 1995/1996. Materi Pokok Geometri Ruang, Modul 1-9. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah Bagian Proyek Peningkatan Mutu Guru SLTP Setara D-III.
Murtanto, Yudhi. 2002. Sekolah Para Juara, Menerapkan Multiple Intellegences di
Dunia Pendidikan. Bandung: Kaifa.
Oka Yadnya, I Gusti Agung. 2006. Penerapan Model Pembelajaran “Sipitu Berbasis
Gambar” untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Matematika
(Geometri) Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Singaraja (Laporan Penelitian
Tindakan Kelas). Singaraja: /t, p/.
Stein,Edwin I. 1980. Fundamentals of Mathematics. Seventh Edition. Boston: Allyn and
Bacon, Inc.
Penulis:
Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya
Guru di SMP Negeri 1 Singaraja

Problematik Pembelajaran Geometri:
Antara ”Action” dan ”Illusion*)
Oleh
Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya**)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Geometri merupakan bagian dari Matematika yang membicarakan hal-hal yang menyangkut titik, garis, bidang, ruang dan keterkaitan satu sama lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh Stein (1980) berikut ini:Geometry is the study of points, lines, planes, and space, of measurement and construction of geometric figures, and of geometric facts and relationships. The word “geometry” means “earth measure.” (Stein, 1980: 392).
Menurut Stein, objek Geometri bersifat abstrak. Hal ini tampak jelas pada pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan misalnya penjelasannya tentang “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or thickness. We cannot see a geometric line.”
Masalah pembelajaran Geometri pada jenjang Pendidikan Dasar muncul ketika banyak guru tidak sempat, memandang tidak perlu, atau tanpa usaha untuk melakukan visualisasi objek-objek Geometri yang abstrak itu. Bahkan, sangat dikhawatirkan jika kelompok guru yang telah menyadari betul pentingnya alat peraga juga melakukan “pelanggaran” dalam tugasnya sehari-hari. Artinya, mereka ”terseret” untuk ikut-ikutan ke kelas tanpa alat bantu pembelajaran. Tidak jarang juga sebagian pahlawan pendidikan ini bersikap ”cuek” dan pasrah terhadap kondisi sekolah. Mereka cenderung menunggu bantuan alat dari pemerintah atau pihak-pihak lainnya, tanpa upaya untuk membuat alat sendiri atau tidak menugasi siswa untuk membuat model yang dapat mempermudah pemahaman konsep.
Sejalan dengan sikap ”cuek” dan kepasrahan itu, akhirnya dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru lebih dominan memilih bentuk verbalitas (talk only). Sebagai contoh dalam pembahasan bangun ”kerucut”, guru bukan menunjukkan model kerucut, namun hanya berwacana tentang bangun runcing itu. Contoh lain, ada oknum guru hanya bercerita tentang adanya diagonal ruang dan bidang diagonal dalam pembahasan tentang kubus atau balok, serta tidak pernah memperlihatkan benda-benda nyata yang dapat dijadikan model.
Akibat dari pembelajaran yang hanya bersifat verbalitas itu, siswa selanjutnya menjadi pengkhayal yang ”ulung”. Mereka memaksa dirinya untuk ber-”mimpi” dan membayangkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah mereka ketahui. Jika siswa setiap hari diajak berhalusinasi dan lama kelamaan mereka menjelma menjadi ilusionis.   Keadaan ini dapat dikatakan fase ”No action and Full Illusion”.
B. Pembatasan Masalah
Permasalahan pembelajaran pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor. Berdasarkan pengalaman nyata, sedikitnya ada empat faktor penyebab munculnya permasalahan dalam pembelajaran Geometri di tingkat pendidikan dasar, khususnya pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau yang sederajat. Pertama, muatan kurikulum. Dalam konteks ini banyak materi Geometri di SMP memiliki tingkat kesulitan relatif tinggi, yang melebihi tingkat intelektual siswa rata-rata (beberapa contoh materi krusial disajikan pada lampiran 1). Kedua, ketidaksiapan siswa secara individu, terutama dalam memahami konsep-konsep yang pelik dan menghafalkan (mengingat) rumus-rumus yang demikian banyak. Ketiga, keterbatasan fasilitas; sampai saat ini sebagian besar sekolah masih terkendala pada alat bantu pembelajaran, seperti: alat peraga, dan media pendukung lainnya. Keempat, kesulitan yang bersumber dari guru; antara lain: (1) kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan metode penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, (2) tidak berupayanya guru dalam menciptakan pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), (3) kecenderungan guru untuk mengambil jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa, (4) dan kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal model ‘problem solving’ dan soal bersifat open-ended.

Dalam kesempatan ini, pembahasan akan difokuskan pada permasalahan yang bersumber dari guru dan ketidaksiapan siswa dalam belajar Geometri, sebab kendala tentang kurikulum dan fasilitas memerlukan “sentuhan” pemerintah atau pihak-pihak lain yang berkompeten dalam pengambilan kebijakan dalam bidang pendidikan.

II. PEMBAHASAN
A. Pentingnya Aksi dalam Pembelajaran Geometri
Seperti disinggung sebelumnya, permasalahan yang menyangkut pembelajaran Geometri, yang dapat ditanggulangi guru adalah kendala yang bersumber dari guru itu sendiri: mulai dari kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan cara-cara penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, tidak berupayanya guru dalam menciptakan model pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), kecenderungan guru memilih jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa tanpa dibarengi sajian cara penurunan rumus itu, sampai pada kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal model ‘problem solving’ serta soal-soal open-ended.

Bertolak dari permasalahan itu, dalam konteks ini diharapkan guru mau untuk mengubah budaya “ngekoh”, dan siap melakukan inovasi pembelajaran. Guru hendaknya mulai beralih dari model pembelajaran konvensional (yang didominasi ceramah) menuju Model Pembelajaran Berdasar Aktivitas (MPBA). Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah mengajak siswa melakukan aksi (action) langsung dalam pembelajaran sehari-hari. Untuk menemukan konsep-konsep serta memperoleh rumus yang terkandung di dalamnya. Siswa hendaknya memulai belajar tentang konsep Geometri dengan melakukan kerja praktik yang melibatkan secara maksimal panca indranya..  Hal ini senada dengan pendapat Meier yang disitir Astuti (2002), sebagai berikut: “Dalam belajar, siswa perlu melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak hanya menggunakan “otak” (sadar, rasional, memakai “otak kiri”, verbal), tetapi juga melibatkan seluruh tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra dan sarafnya.” (Astuti (2002: 54).

Lebih jauh Meier menegaskan bahwa belajar adalah berkreasi, bukan mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pembelajar. Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi elektrokimia baru di dalam sistem otak/tubuh secara menyeluruh.

B. Jenis “Aksi” dalam Pembelajaran Geometri
Aksi (action) apa yang dapat dijadikan acuan dalam pembelajaran Geometri? Sedikitnya dapat dibedakan menjadi tiga macam kegiatan nyata yang mesti dilakukan siswa. Pertama, membuat seketsa atau gambar-gambar untuk memudahkan proses berpikir tentang konsep. Kedua, kegiatan memanipulasi objek atau praktik untuk menyusun rumus atau membuktikan rumus yang telah ada. Ketiga, membuat suatu produk atau benda dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari.
1. Membuat sketsa atau gambar
Banyak pemikir menggunakan perumpamaan dan bahasa gambar (kecerdasan spasial) untuk membantu proses kerja mereka. Ahli fisika John Howarth (dalam Murtanto, 2002)  menggambarkan proses pemecahan masalahnya sebagai berikut:
Saya membuat gambar yang abstrak. Saya baru menyadari bahwa proses abstraksi gambar di benak saya menyerupai proses abstraksi saat saya menghadapi soal-soal fisika secara analitik. Jumlah variabel direduksi, lalu apa yang diperkirakan sebagai bagian esensial masalah tersebut disederhanakan dan dibahas, baru kemudian teknik analitis dapat diterapkan, ketika membuat gambaran visual, kita dapat memilih salah satu yang mengandung representasi unsur-unsur dasar – gambar yang disederhanakan, diabstraksi dari sejumlah gambar lain, dan berisi unsur-unsur yang sama (Murtanto, 2002: 225).
Menurut Murtanto, pemikir lain juga menggunakan strategi pemecahan masalah dengan menggabungkan imaji spasial-visual dengan aspek kinetik atau kinestetis-jasmani pikiran. Einstein pun megatakan bahwa proses berpikirnya meliputi unsur visual. Hal yang sama juga berlaku pada Henri Poincare , yang mengisahkan pengalamannya berjuang memecahkan persoalan matematika yang membingungkan selama lima belas hari, juga berakhir dengan gambar (Murtanto, 2002: 225).
Dari beberapa pendapat itu jelas bahwa begitu pentingnya peran gambar dalam belajar. Dengan demikian kegiatan melibatkan siswa dalam kreativitas pembuatan sketsa atau gambar dalam rangka memvisualisasikan dan menyederhanakan konsep-konsep pelajaran yang abstrak sangatlah penting.
Walaupun konsep-konsep yang diacu Geometri bersifat abstrak, namun, unsur-unsur penting Geometri pada umumnya dapat divisualisasikan dengan gambar atau diperagakan dengan model tiga dimensi. Jika mau jujur, objek yang paling abstrak sekalipun, seperti halnya ”keinginan”, ”kemajuan”, dan sebagainya masih dapat digambarkan, minimal sesuai dengan bayangan dan imajinasi masing-masing. Itu artinya, kalau guru mau berusaha untuk memvisualisasikan objek bahasan dari Geometri, sangat memungkinkan untuk divisualisasikan. Hanya saja gambar yang dibuat hendaknya jangan sampai menyesatkan, seperti pesan Iswadji, dkk. Berikut ini:
Gambar dari suatu bangun Geometri haruslah dapat membantu memberikan penjelasan dalam rangka usaha menanamkan pengertian tentang bangun itu. Misalnya jika Anda membuat gambar sebuah balok haruslah sejauh mungkin diusahakan agar gambar yang Anda buat itu dapat membantu memahami pengertian dan sifat balok yang dimaksudkan (Iswadji, 1995/1996: 6).
2. Kegiatan manipulasi objek
Tentang objek Geometri yang bersifat abstrak, tidaklah perlu menjadi alasan akan susahnya mencari padanan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran “garis” misalnya, selain bisa digambarkan juga dapat dimodelkan. Gambar garis hanyalah sebagai representasi dari garis yang bersifat abstrak itu. Perhatikan penegasan Stein berikut: “A geometric line is a set of points. The pencil or chalk lines we draw are only representations of geometric lines.”
Lebih jauh dari itu, dengan sedikit usaha tidak mustahil guru dapat menemukan aplikasinya atau relevansinya ke dalam kehidupan nyata. Model “garis” misalnya dapat dicontohkan tongkat, tiang rumah, benang yang dibentangkan, dan sebagainya. Bahkan, Iswadji, dkk. (1995/1996) mewajibkan guru untuk mencari padanan bangun-bangun Geometri ke dalam benda konkret, seperti yang diungkapkan berikut ini:
Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek itu, khususnya pada proses kegiatan belajar-mengajar dalam kelas, objek yang abstrak itu, misalnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk konkret dapat diamati sehingga lebih mudah dipahami. Bentuk konkret dari suatu benda pikiran dapat berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan tentang kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin juga perlu disiapkan keduanya (Iswadji, dkk., 1995/1996: 6).
Untuk suatu pembuktian tentang kebenaran rumus atau penyusunan rumus baru, dengan bantuan benda-benda konkret yang relevan akan mempercepat pemahaman siswa dan menuntun mereka dalam proses pemahaman konsep itu sendiri. Sebagai contoh dalam membuktikan bahwa volum kerucut adalah sepertiga dari volum tabung yang jari-jari alas dan tinggi kedua bangun itu sama, maka siswa perlu dilibatkan dalam kerja praktik menuangkan pasir dari kerucut ke dalam tabung secara berulang-ulang.
3. Membuat produk (karya nyata)
Kegiatan membuat hasil karya atau produk merupakan tingkatan tertinggi dalam proses belajar. Mengapa? Dengan kemampuan menciptakan atau menghasilkan suatu karya nyata berarti siswa telah memahami dengan baik konsep-konsep yang terkandung di dalamnya. Memang muara dari kegiatan belajar tentunya menghasilkan sesuatu yang berguna bagi diri sendiri dan masyarakat luas. Dengan kemampuan menciptakan suatu karya tertentu, siswa diharapkan akan mampu mengembangkan kemampuannya itu untuk mengarungi kehidupan ini, yang mana ke depan semakin kompetitif.
Ambil contoh, siswa yang baru saja belajar jaring-jaring kubus dan balok kemudian memiliki gagasan untuk menciptakan suatu karya ”kemasan produk” yang bentuknya unik, menarik, dan hemat bahan, maka yang bersangkutan dapat dikatakan telah menghasilkan suatu produk hasil ciptaannya sendiri. Hal ini tentu saja akan membanggakan baik bagi guru, sekolah maupun orang tua siswa. Apalagi misalnya hasil ciptaan anak bersangkutan sampai menang dalam lomba karya ilmiah dan memiliki hak paten, tentu saja akan mengangkat citra dan martabat daerah dan bangsa. Dengan alasan itu, maka guru diharapkan senantiasa melibatkan siswa dalam penciptaan produk yang relevan dengan konsep yang sedang dibahas serta sesuai dengan kemampuan dan tingkat intelektual siswa. Bukankah menurut Wiles (1955), guru yang hebat adalah guru yang memberi inspirasi kepada anak didik untuk menghasilkan sesuatu (tentunya yang berguna).
Bertolak dari berbagai pendapat tersebut, guru Matematika, terutama guru di tingkat Pendidikan Dasar dituntut untuk mampu memvisualisasikan objek bahasan yang bersifat abstrak dan selalu mengusahakan alat bantu pembelajaran, terutama yang berhubungan dengan alat peraga atau alat praktik yang mampu memudahkan dan mempercepat pemahaman siswa. Selain itu, dengan mengajak siswa untuk menghasilkan suatu produk yang didasari konsep-konsep yang sedang dipelajari akan menjadikan pelajaran lebih bermakna.
Kekurangsiapan sebagian guru dalam menyiapkan alat peraga dan mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, yang berakibat siswa menjadi asing dengan kebermanfaatan pelajaran Geometri, harus segera diantisipasi dengan model pembelajaran yang mampu mengoptimalkan keterlibatan panca indra siswa.
Jika tidak sejak dini dibiasakan siswa mengaplikasikan teori pelajaran yang diterimanya di kelas ke dalam kehidupan nyata, maka kelak mereka tidak dapat mengaitkan konsep-konsep pelajaran itu untuk memecahkan permasalahan nyata yang ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari. Kalau diibaratkan, siswa seperti itu bagaikan Gatotkaca yang dapat terbang melangit namun tidak mampu menapak bumi. Dengan kata lain, guru perlu mengajak siswa melakukan “aksi” dalam kegiatan belajar mengajar untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep pelajaran, menemukan keterkaitan materi dengan masalah nyata, serta menguatkan daya ingat siswa terhadap rumus-rumus yang ditemukan lewat kegiatan nyata (aksi) tersebut. Hal ini diharapkan dapat mengurangi frekuensi khayalan (ilusi) yang telah melanda sebagian siswa, sebagai akibat kurangnya pengetahuan mereka terhadap keterkaitan materi pelajaran dengan objek nyata.
Jika digambarkan, antara “aksi” dan “ilusi” itu dapat dipandang sebagai dua kutub yang bertolak belakang. Tetapi, jika cara visualisasi atau pemodelannya salah, maka kedua kutub tersebut bertemu membentuk ruang gelap yang mencerminkan terjadinya “kegamangan konsep” dalam pikiran siswa. Untuk itu, perlu kehati-hatian guru dalam memilih padanan objek agar tidak berbalik menyesatkan siswa. Gambar berikut menunjukkan terjadinya “kegamangan konsep” akibat adanya aksi yang tidak pas.
Gb. 1: Aksi yang belum pas menimbulkan ”kegamangan”
Jika guru menampilkan gambar/sketsa, maka gambar tersebut harus memenuhi syarat dari segi kesesuaian bentuk dan perbandingan ukuran.  Seperti yang telah disebutkan, ”aksi” yang sesuai akan mengurangi terjadinya ”ilusi”. Sejauh mana kontribusi ”aksi” untuk mengurangi ”ilusi” siswa, dapat digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut:



Solusi yang ditawarkan dalam kesempatan ini diharapkan sekaligus juga dapat menjawab atau paling tidak meringankan jenis kesulitan siswa yang termasuk kesulitan akibat kondisi awal atau ketidaksiapan siswa secara individu; diantaranya: kesulitan dalam menghubungkan antara gambar bangun dengan rumusnya,  kecenderungan siswa untuk sekedar menghafal rumus dan bukan memahami cara penurunannya, kesulitan dalam mengkonversi bangun dari bentuk satu ke bentuk lain, serta kesulitan dalam mengubah variabel pokok dari suatu formula.
B. “Sipitu” sebagai Sebuah Model Pembelajaran
Rendahnya prestasi belajar Matematika siswa, khususnya menyangkut pokok-pokok bahasan Geometri, telah memotivasi penulis melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Kelemahan mendasar yang dapat ditemukan pada siswa yang menjadi tanggung jawab penulis antara lain kelemahan siswa dalam mengingat rumus-rumus Geometri yang demikian banyaknya. Sebagian besar siswa hanya bersifat ”menghafal” rumus dan tidak memahami bagaimana asal mula terbentuknya rumus tersebut. Akibatnya mereka cepat lupa, karena kekuatan mengingat manusia sangat terbatas, seperti yang dikemukakan Negoro dan B. Harahap (1984) bahwa baik siswa, guru, bahkan profesor pun tidak dapat mengingat semua rumus yang pernah dipelajarinya.
Bertolak dari fenomena itu, pada semester genap tahun ajaran 2005/2006 penulis mencoba mengajak siswa untuk berpikir bahwa rumus bukanlah satu-satunya cara untuk menghitung. Rumus yang banyak jumlahnya itu tidak perlu dianggap sebagai beban yang harus dihafalkan semuanya. Selanjutnya penulis terapkan model pembelajaran ”Sipitu”, yang merupakan singkatan dari aksi-pikir-tulis. Artinya, model pembelajaran ini menekankan pada tiga hal penting, yaitu: kerja praktik (aksi), memikirkan konsep atau rumus yang diperoleh dari kerja praktik (pikir), dan menyusun serta menulis konsep atau rumus tersebut (tulis). Adapun hasilnya cukup positif, selain motivasi belajar siswa meningkat, kelompok siswa yang sebelumnya memiliki nilai ulangan Geometri rata-rata di bawah 6,5, setelah dilakukan inovasi pembelajaran menjadi di atas 7,0. Hasil penelitian ini, secara ringkas disajikan pada lampiran 2.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak. Jika objek yang abstrak ini disajikan oleh guru hanya dalam bentuk wacana belaka, maka siswa akan mempelajari Geometri secara khayalan. Mereka berhalusinasi dalam memikirkan konsep yang abstrak tanpa pernah diketahui padanannya dengan benda nyata yang dapat ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari.
Untuk mengantisipasi hal itu, guru perlu melakukan inovasi pembelajaran dengan melibatkan siswa secara langsung dalam kegiatan kerja praktik. Atau setidaknya, pada waktu guru membicarakan objek Geometri, khususnya pada proses kegiatan belajar-mengajar dalam kelas, objek yang abstrak itu, misalnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk konkret dapat diamati sehingga lebih mudah dipahami. Bentuk konhret dari suatu benda pikiran dapat berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan tentang kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin juga perlu disiapkan keduanya.
Satu penawaran tentang model pembelajaran yang telah terbukti memberikan hasil positif di SMP Negeri 1 Singaraja adalah “Model Pembelajaran Sipitu”. Model pembelajaran ini telah diujicobakan beberapa kali dan ternyata berdampak positif terhadap peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa.
B. Saran-saran
Seiring dengan simpulan tersebut di atas, dalam kesempatan ini dikemukakan beberapa saran, yaitu:
  1. Kepada guru Matematika diharapkan segera melakukan pembaharuan pembelajaran, terutama untuk pokok-pokok bahasan Geometri, mengingat materi ini relatif sulit bagi siswa pada umumnya.
  2. Kepada kepala sekolah diharapkan senantiasa mendukung upaya yang dilakukan guru untuk memperbaiki kualitas pembelajarannya, baik dalam bnetuk moril maupun material sesuai dengan kemampuan lembaga yang dipimpinnya.
  3. Kepada pihak-pihak terkait, yang berkompeten dalam bidang pendidikan, seperti Dinas Pendidikan dan jajarannya, diharapkan menyediakan anggaran bagi guru untuk melakukan kegiatan inovasi pembelajaran dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, terutama pada jenjang Pendidikan Dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Kontak 081333052032



Sumber: http://www.infodiknas.com




0 komentar:

Posting Komentar